Salah satu hal yang membuat saya ingin sekali pergi ke Sumba adalah objek wisatanya yang masih begitu murni, sepi dari pengunjung. Saya menyukai keheningan dan sangat membenci tempat ramai. Dengan suasana yang sepi dan hening, saya dapat menikmati suara deburan ombak, semilir angin, atau sekedar gemericik air di tepi telaga.
Terus terang saya kurang bersemangat apabila harus pergi ke tempat yang sangat touristy, ramai bagai cendol, dan penuh orang selfie dimana-mana. Nah, Sumba dapat mewujudkan keinginan saya. Plus, saya pergi ke sini pada momen yang sangat spesial, yaitu honeymoon! Hehehe.
Jelajah Sumba Barat Daya
Kami berangkat pada pukul 8 pagi, setelah sebelumnya sarapan di Hotel Sinar Tambolaka untuk menuju destinasi di Sumba Barat Daya, yaitu Pantai Mbawana, Pantai Mandorak, dan Danau Weekuri. Ketiga tempat ini terletak berdekatan di daerah Kodi, Sumba Barat Daya.
Perjalanan dari Tambolaka ke Kodi memakan waktu sekitar 1,5 jam melintasi medan yang meliuk-liuk dan off-road. Hebatnya Patris supir kami, ia sangat hafal akan jalanan. Padahal, jalan di Kodi itu bercabang-cabang, banyak, dan tanpa satupun penunjuk arah! Sepanjang jalan, kami hanya melihat padang rumput yang tandus dan sesekali rumah-rumah penduduk. Wassalam pokoknya kalau kesasar di sini.
Cantiknya Pantai Mbawana
Mobil kami berhenti di sebuah lapangan. Tidak ada orang disana. Tidak ada penunjuk arah, atau apapun yang melambangkan bahwa ini merupakan tempat wisata Pantai Mbawana. Kami menuruni tebing dengan anak tangga yang lumayan curam; tidak terlalu lama, hanya 15 menit saja, namun cukup membuat napas tersengal-sengal.
Ketika menjejakkan kaki di Pantai Mbawana, senang hati rasanya tak terkira. Gugusan karang yang membentuk pintu raksasa, berpadu dengan langit biru dan hamparan pasir putih. God, I can’t ask for more.

Sayangnya, menurut informasi yang beredar, Pantai Mbawana ini sudah dibeli oleh investor yang berasal dari Bali dan akan segera ditutup untuk umum. Sediih, Pantai Mbawana yang begitu indah, dan merupakan salah satu destinasi unggulan di Sumba, tak lagi bisa dinikmati oleh umum.
Baca juga: Exotic Sumba (1): Kebudayaan Unik Penduduk Asli Sumba
Begitu juga dengan Pantai Mandorak. Pantai Mandorak telah dibeli oleh orang asing, dan sialnya kami pada saat kesana, orang asing tersebut sedang berada di tempat sehingga kami tidak bisa masuk. Sediiih 🙁
Danau Weekuri

Tak berlama-lama patah hati karena Mbawana dan Mandorak, kami menuju destinasi berikutnya yaitu Danau Weekuri. Danau Weekuri adalah sebuah laguna yang berada di pinggir pantai.
Terbentuk dari gugusan karang yang indah, berpadu dengan air jernih lautan yang sangat biru, Danau Weekuri menjadi destinasi yang tak boleh terlewatkan di Sumba. Bila berkunjung ke sini, jangan lupa nyebur ya! Boleh juga membawa floaties biar kayak anak-anak jaman now.
Desa Adat Praijing

Keesokan harinya, kami mulai bertolak ke daerah Sumba Timur. Kami singgah di Desa Adat Praijing dan Air Terjun Lapopu di Sumba Tengah. Pemandangannya jangan ditanya, spektakuler pokoknya!
Air Terjun Lapopu
Nah, saat perjalanan ke Air Terjun Lapopu, Sumba Tengah, usahakan jangan tidur ya! Karena pemandangan menuju Air Terjun Lapopu sangat indah! Hamparan perbukitan, dengan pantai-pantai tersembunyi di balik bukit memanjakan mata saya yang mulai lelah.
Oh ya, lokasi resor terbaik di dunia Nihiwatu berada di balik bukit saat kita di perjalanan menuju Lapopu. Hmm, saya jadi penasaran, seperti apa sih resor yang rate permalamnya sampai belasan juta rupiah itu. Semoga lain waktu ada gratisan untuk nginap disana! Hehehe.
Diantara objek wisata lainnya, rasa-rasanya hanya Lapopu yang sudah dikelola oleh pemerintah setempat. Dari loket karcis, Air Terjun Lapopu dapat dicapai dengan berjalan kaki sekitar 15 menit. Tapi hati-hati ya, karena jalannya tidak begitu bagus, dan bebatuannya cukup licin. Lagi-lagi, kami menjadi satu-satunya pengunjung di sana. Wah, benar-benar surga dunia..

Kami berhenti istirahat agak lama di Lapopu. Sekedar diam, melepas lelah, dan menikmati indahnya pemandangan. Sungguh, inilah tempat favorit saya selama berada di Sumba! This place is truly beautiful and magical. Rasanya ingin saya berlama-lama dan berenang disini, sampai puas. Namun, perjalanan kami menuju Sumba Timur masih jauh.
Di jalan, Patris menceritakan tentang pembakaran bukit-bukit di Sumba karena ulah masyarakat sekitar. Ternyata, mereka berebut jatah retribusi liar dari wisatawan, sehingga dibakarlah bukit-bukit tersebut. Sangat disayangkan.
Benar saja, ketika kami tiba di Bukit Wairinding, bukitnya gosong dan tidak indah. Duh, saya menyesal sekali karena bukit ini baru dibakar 1 minggu sebelum kami tiba di sana 🙁 Seandainya masyarakat di Sumba lebih peduli dengan pariwisata di daerahnya, tentu ceritanya akan berbeda.
The Dancing Trees, Walakiri Beach

Setelah perjalanan berjam-jam yang berkelok-kelok naik turun bukit, di sore harinya kami sampai di Waingapu, Sumba Timur. Setelah singgah sejenak di Hotel Tanto tempat kami menginap, kami segera melaju ke Pantai Walakiri yang terkenal akan the dancing trees-nya, alisan pohon bakau di tepi pantai.
Tak lama kami berkendara, kami sampai ke Pantai Walakiri. Sebelum matahari terbenam, akses menuju pohon bakau masih tergenang oleh pasang laut sekitar sebetis orang dewasa. Ketika matahari makin tenggelam, air laut semakin surut.
Baca juga: Exotic Sumba (3): Pondok Wisata Pantai Cemara, Surga Kecil di Purukambera
Tempat ini cukup touristy, ada 1 rombongan lain dari Jakarta yang turut meramaikan Walakiri senja itu. Walhasil, mengambil foto sunset di Walakiri memerlukan perjuangan lebih agar orang-orang tersebut tidak ‘bocor’ di frame saya 😀
Tenun Ikat Sumba
Sumba identik dengan kain tenun ikat-nya. Belum ke Sumba jika belum beli tenun ikat khas Sumba! Pagi harinya, kami bertolak dari Hotel Tanto ke Purukambera, Sumba Timur dan singgah di Kalu, yang merupakan sentra pembuatan tenun ikat Sumba. Ternyata, proses pengerjaannya sangat rumit karena menggunakan proses pewarnaan dari bahan-bahan alami. Proses pengerjaannya pun panjang, bisa sampai berbulan-bulan. Tak heran, harga tenun ikat Sumba cukup mahal!
Dian Sastro, melalui akun media sosialnya gencar mempromosikan tenun ikat sumba dengan tagar #pakeikat. Ini adalah langkah yang sangat bagus untuk mempromosikan tenun ikat Sumba kepada masyarakat Indonesia maupun internasional. Karena, percayalah, motif-motif tenun ikat Sumba itu keren-keren banget dan sangat bisa untuk diaplikasikan pada haute couture mode maupun pakaian sehari-hari. Saking cintanya Dian dengan Sumba dan tenun ikatnya, dia sampai memesan motif khusus kepada pengrajin di Kalu, lho. Ini dia tenun ikatnya.

Kalau punya uang banyak, rasanya saya ingin memborong kain-kain tersebut, hehehe. Akhirnya, saya membeli 1 kain tenun untuk kenang-kenangan.
Perjalanan kami di Sumba belum selesai, tunggu posting berikutnya ya, tentang Puru Kambera dan Pondok Wisata Pantai Cemara!
Sumba itu destinasi impian. cantik banget!
pernah kesana sekali dan belom puas banget jadi pengen kesana lagi. tapi sayang banget ya kalau pantai-pantai yang cantik itu gak bisa dinikmati orang umum. sedih deh.
Iya Mbak.. aku juga belum puas banget disana, masih banyak yang pengen di-explore. Betul Mbak, pariwisata di sana bener-bener belum terkelola dengan baik oleh pemerintah setempat, jadinya bisa dibeli oleh swasta/ asing. sayang banget.
Bisakah saya minta contact sewa mobil (Patris) Mbak? Rencanya lebaran nanti kami sekeluarga mau liburan ke Sumba
Boleh mba.. patris +62 812 46310649