Nisan
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta. .Chairil Anwar
Berkunjung ke Museum Bahari, Museum Wayang, atau Museum Fatahillah, mungkin sudah merupakan hal yang jamak di kalangan pencinta museum di Jakarta. Tapi berkunjung ke museum yang seluruhnya berisi koleksi batu nisan, tentu ini hal ini bukanlah sesuatu yang biasa.
Adalah Museum Taman Prasasti, sebuah cagar budaya yang terletak di Jalan Tanah Abang No.1 Jakarta Pusat. Untuk menemukannya tidak sulit. Dari Jalan Abdul Muis (belakang Kementerian Perhubungan) setelah restoran D’Cost, berbeloklah ke kanan. Museum Taman Prasasti berada tepat di ujung jalan tersebut.
Museum Taman Prasasti mungkin merupakan satu-satunya museum yang memamerkan benda pajangannya di ruang terbuka. Dahulu, Museum Taman Prasasti merupakan pemakaman umum bernama Kebon Jahe Kober yang dibangun pada akhir abad 18 tepatnya pada 1795. Namun pada 1977, Pemakaman Kebon Jahe Kober resmi dijadikan museum oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan menjadi museum yang dibuka untuk umum dua tahun setelahnya. Semenjak menjadi museum semua tulang jasad yang pernah dikebumikan di sini telah direlokasi (sumber).
Pada tahun 1977, pemakaman Kebon Jahe Kober dijadikan museum dan dibuka untuk umum dengan koleksi prasasti, nisan, dan makam sebanyak 1.372 yang terbuat dari batu alam, marmer, dan perunggu (sumber).
Ketika memasuki area museum, suasana mistis langsung menyelimuti saya. Di area lobi depan, terpampang ratusan koleksi nisan berbahasa Inggris dan Belanda. Memang, sebagian besar tokoh yang dikebumikan di Taman Prasasti berkebangsaan Inggris dan Belanda. Di sisi kanan lobi, terpampang replika kereta jenazah. Melihatnya saja cukup membuat bulu kuduk saya berdiri.
Memasuki area museum, mata saya dimanjakan oleh indahnya nisan-nisan bergaya Eropa. Patung-patung malaikat (sebagian telah rusak di bagian tangan) menghiasi setiap makam. Yang menarik untuk diamati adalah bentuk nisan yang berbeda-beda di setiap makam. Ada yang berupa alat musik harpa, guillotine, perempuan yang menangis, anak kecil membawa salib, tugu, dan masih banyak lagi.
Sebagai tempat pemakaman modern pertama di dunia, museum ini menyimpan nisan dari makam isteri Thomas Stamford Rafless, peti jenazah Soekarno dan Hatta, monumen peringatan Soe Hok Gie, dan banyak prasasti lainnya (sumber).Selintas saya membaca tulisan yang diukir di prasasti bertanda tangan Ali Sadikin
“Di taman ini terlukis peristiwa sepanjang masa dari goresan prasasti mereka yang pergi. Di sini pula tertanam kehijauan yang kita dambakan”
Siang itu, pengunjung Taman Prasasti tidak terlalu banyak. Hanya ada seorang mas-mas, saya dan teman-teman saya, serta 2 kelompok mahasiswa yang sedang praktik memotret. Hal tersebut membuat suasana semakin senyap, membuat saya terhanyut dalam lintasan kontemplasi tentang kematian. Bukankah mereka yang saat ini terbaring di bawah sana, adalah tadinya sama seperti kita? Seperti yang tertulis di salah satu nisan sebagai berikut:
“SOO GY. NU SYT.WAS.IK VOOR DEESEN DAT.JK, NV BEN SVLT GY OOK WEESEN.
Terjemah: Seperti Anda sekarang, demikianlah Aku sebelumnya. Seperti Aku sekarang, demikianlah juga Anda kelak”.
Museum Taman Prasasti
Jl. Tanah Abang No. 1 Jakarta Pusat
HTM: Rp 5.000,00
Hari Senin dan libur nasional tutup.
Iya mbak, oke banget pokonya sekali2 berkunjung ke sini 🙂 sisi lain di tengah bisingnya Jakarta.