Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba.
Sore itu, pesawat Etihad dengan rute Jakarta – Abu Dhabi – Madinah akan terbang membawa saya pergi dari kehidupan di Jakarta. Seluruh jamaah diamanatkan untuk berkumpul di Old Town Coffee Restaurant yang terletak di Terminal 2F Bandara Soekarno Hatta paling lambat jam 11 siang karena akan ada briefing terlebih dahulu. Umumnya di Indonesia, saat mendaftar Haji atau Umrah, jamaah akan diberikan kain batik seragam untuk dijahit. Seragam tersebut digunakan untuk keberangkatan, demi memudahkan petugas travel untuk mengawasi.
Ayah, Ibu, dan adik saya mengantar sampai depan Terminal 2F, lalu saya mohon ijin dan pamit. Di dalam Old Town, kondisi sudah cukup ramai. Sepertinya bukan cuma travel Al*a Wisata yang menggunakan restoran tersebut sebagai tempat transit jamaah Umrah. Penuh banget dan umpel-umpelan. Mbak Mut, kakak perempuan Kodil dan Mas Fathur, suaminya sudah menunggu di sebuah meja. “Diani pesan makan dulu, sudah disiapkan sama travelnya. Tapi, punya kita sudah 1 jam belum datang-datang,” kata Mbak Mut. Waduh…
Suasana di Old Town benar-benar hiruk pikuk dan super pengap, hingga petugas travel meminta pengantar untuk menunggu di luar restoran karena banyak jamaah yang tidak kebagian tempat duduk. Saya sudah bosan bolak-balik meminta kepada waitress agar makanan kami segera diantar. Hmm.. kurang canggih nih airport handling-nya.
Tak lama kemudian, ketua rombongan membagikan syal hijau mentereng dan nametag kepada tiap jamaah. Atribut ini wajib dipakai selama melaksanakan ibadah. Sumpah, ngejreng banget warnanya. Saya sampai malu makenya. Ya sudah, daripada hilang di Arab Saudi bisa berabe.
Penerbangan Jakarta – Abu Dhabi ditempuh dalam waktu 8 jam. Saya memiliki waktu 1 jam transit di Bandara Abu Dhabi. Wih, keren banget bandaranya pokoknya. Lalu, penerbangan Abu – Dhabi Madinah ditempuh dalam waktu 2 jam.
Welcome to Saudi Arabia
Sesampainya di Madinah, rombongan kami menuju konter imigrasi bandara. Ramai sekali, kurang lebih kami mengantri selama 2 jam. Disaat ngantri capek-capek, tiba -tiba ada seorang bapak dari rombongan kami yang menyelak antrian. Karena sudah capek, saya memilih untuk mendiamkan. Saya, Kodil, dan orangtua Kodil masuk ke konter imigrasi bersamaan. Kemudian, satu persatu sidik jari kami di-scan, foto kami diambil, paspor kami di-cap, dan kami resmi masuk ke Saudi Arabia.
Selamat datang di Madinah!
Saat saya datang kesana pada bulan Desember 2015, di Madinah sedang musim dingin. “Sedingin apa, Pak?” tanya saya pada Ustad Jejen, ketua rombongan. “Ya kira-kira macam Puncak lah,” ujar Ustad Jejen. Walhasil, saya hanya membawa sweater seadanya dan dengan sukses menggigil kedinginan di Madinah. Suhu di Madinah di pagi hari mencapai 6 derajat Celsius. Gigi saya sampai gemeletuk tak kuat menahan dingin. Saya lihat, jamaah-jamaah lain membawa mantel bulu yang hangat, sementara saya dan Kodil membeku di tengah dinginnya udara Madinah.
Drama di Hotel Madinah
Bis membawa kami ke hotel bintang 3 tempat kami menginap di Madinah. Di keterangan yang ditulis pada awal pendaftaran Umrah, kamar kami akan berisi masing-masing 2 orang, dengan kamar mandi dalam perkamarnya. Ternyata, kamar kami merupakan 3 joint room, dengan 1 kamar mandi saja. Weh.. Berarti, kami harus menggunakan kamar mandi secara bergantian.
Drama berikutnya adalah lift hotel. Hotel yang kami tempati saat itu penuh sesak oleh jamaah, sampai-sampai untuk naik-turun lift harus mengantri. Triknya, saat akan turun ke lantai dasar, saya ikut naik lift dulu sampai lantai paling atas, kemudian baru turun. Terkadang, drama lift ini harus memakan waktu hingga 20 menit.
Suatu ketika, saya naik lift bersama beberapa jamaah Indonesia dan jamaah asing. Lift sudah penuh, dan tiba-tiba ada seorang perempuan Arab yang marah-marah memaksa masuk dan menabrakkan dirinya ke jamaah yang berada di lift. Seorang jamaah Arab yang berada di dalam lift tidak terima dan balik mendorong perempuan tersebut ke luar lift. Lalu, pintu kami tutup dan kami segera naik ke lantai atas. Kejadian ini tidak hanya 1-2 kali. Saya perhatikan, orang-orang Arab karakternya sangat keras. Mereka tak segan mendorong, menyelak antrian, dan membentak orang lain. Kami jamaah Indonesia cuma bisa mesam-mesem.
Tak hanya lift, drama juga terjadi di ruang makan. Kami disediakan katering masakan Indonesia di lantai 2 hotel. Oleh karena waktu makan bersamaan, kondisi ruang makan jadi tak karu-karuan. Dalam 1 ruangan, terbagi menjadi 3 kloter jamaah, 1 dari India/ Pakistan dan 2 dari Indonesia. Kondisi ruang makan sangat kotor berantakan dan sisa makanan berceceran dimana-mana. Antri makanan pun menjadi masalah di sini. Ada seorang ibu-ibu mengendap-endap menyelak antrian kami dan Kodil dengan tegas menjawab, “Bu, antrinya dari belakang saya.” Ibu tersebut melengos dan saya terkekeh. Terkadang, ketika bosan dengan makanan yang alakadarnya, saya dan Kodil jajan makanan Arab di sekitar hotel.
Masjid Nabawi yang Indah
Dari hotel kami, Masjid Nabawi hanya berjarak sekitar 300 meter. Dengan berbekal baju hangat, kami semangat berjalan menuju masjid. Pertama kali memasuki Masjid Nabawi, subhanallah, indahnya! Bangunan masjid dengan megahnya menjulang, dihiasi dengan payung-payung yang menjadi ikon Masjid Nabawi. Interior masjid tak kalah indahnya. Ukiran kalimat-kalimat Allah dengan indahnya menghiasi setiap bagian masjid. Saya ternganga saking terpananya.
Oh, inikah Masjid Nabawi yang selalu disebut-sebut dalam sejarah Islam, subhanallah!
Akhirnya aku sampai juga di sini Ya Allah.
Tak henti saya berdecak kagum memperhatikan Masjid Nabawi. Terkadang, kami shalat di dalam masjid. Terkadang, kami shalat di luar masjid apabila penuh. Tantangannya, kalau shalat di luar adalah angin yang dingin menusuk. Masya Allah! Baru kali ini merasakan ala-ala winter.
Pernah suatu ketika seusai Subuh, saya menemani Kodil bertemu dengan temannya, Dadid. “Dia ga bales SMS Di.. kita tunggu di depan menara jam aja ya,” pinta Kodil.
Saya manut. 15 menit, 20 menit berlalu, Dadid tak juga menunjukkan batang hidungnya. Saya dan Kodil yang sudah beku diterjang angin akhirnya memutuskan kembali ke hotel. Esok harinya, malah kami tak sengaja bertemu Dadid dan keluarganya di pelataran Masjid Nabawi.
Masjid Nabawi itu sangat besar. Karena penasaran, saya dan Kodil berjalan mengitari masjid seusai shalat. Disana kami melihat kubah hijau, yang tak lain adalah Raudhah tempat Nabi Muhammad berdoa.
Di sekitar masjid, terlihat crane-crane tanda pembangunan sedang berlangsung. Kabarnya, Masjid Nabawi ini akan diperluas lagi agar bisa menampung lebih banyak jamaah. Subhanallah.
Kegiatan kami di Madinah berkisar di city tour, mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Madinah.
Perjalanan kami belum selesai. Saatnya bergerak menuju Makkah.
Perasaan saya tidak menentu. Bagaimana rasanya melihat Masjidil Haram dan Ka’bah yang selama ini menjadi acuan kiblat saya saat shalat? [to be continued…]
Tinggalkan Balasan