Alor? Dimana itu?
Begitu kebanyakan reaksi teman-teman ketika saya mengatakan bahwa saya akan berangkat ke Alor untuk tugas kedinasan. Tampaknya, Alor memang belum banyak dikenal oleh orang Indonesia sendiri. Alor adalah sebuah pulau yang terletak di ujung timur Nusa Tenggara Timur. Alor merupakan salah satu pulau terluar di Indonesia, yang berbatasan di sebelah selatan dengan Timor Leste.
Kedatangan saya kali ini ke Alor adalah untuk mengawal kunjungan wartawan. Jadi, kantor tempat saya bekerja saat ini memiliki kepedulian yang tinggi akan pariwisata, khususnya untuk daerah yang berada di sekitar wilayah kelola perusahaan. Saya pergi ke Alor bersama 1 orang kawan, Mas Yuris, 1 orang travel Mas Zul, dan 8 teman wartawan.
Alor hanya dapat ditempuh melalui Kupang, dengan pesawat TransNusa atau Wings Air yang hanya terbang 1x sehari dengan waktu tempuh 60 menit. Bisa juga naik kapal PELNI dari Kupang selama 18 jam.
Selesai liputan di Bandara El Tari Kupang, kami langsung bertolak menuju Alor. Kami disambut dengan hujan deras. Dengan tergopoh-gopoh karena kehujanan, kami menuju baggage claim Bandara Mali, Alor. Hujan turun semakin deras, dan petugas baggage handling dengan hujan-hujanan mengangkut koper-koper kami.
Selamat datang di Alor, kaka!
Homestay Om Kris
Kami menginap di Homestay Cantik milik Om Kris. Om Kris ini penduduk lokal yang menyewakan rumahnya untuk disinggahi turis-turis yang hendak berwisata ke Alor. Om Kris sangat ramah, ia banyak bercerita mengenai Alor, kebudayaan dan wisatanya. “Alor ini surganya diving. Sangat terkenal di mancanegara akan keindahannya,” jelas Om Kris. Bahkan, menurut sumber yang saya baca, Alor menempati urutan ke-2 setelah Karibia untuk keindahan bawah lautnya. Tak heran, beberapa orang asing membuka usaha jasa operator diving dan resort di Alor.
Om Kris ini ternyata juga kenal dengan travel blogger ternama seperti Trinity Traveler, Marischka Prudence, Riyanni Djangkaru, dan masih banyak lagi. “Mereka menginap di homestay Om Kris,” ujarnya. Setelah saya coba googling di internet, ternyata memang homestay Om Kris ini cukup terkenal. Homestaynya cukup nyaman, dengan AC dan kamar mandi dalam. Oh ya, bagi yang ingin menyicipi masakan lokal, harus banget makan masakan istrinya Om Kris. Sedap!
Desa Adat Takpala dan Moko
Siang itu juga, kami menuju Desa Adat Takpala yang terletak di Kecamatan Alor Tengah Utara. Dihuni oleh suku Abui, Desa Adat Takpala berdiri di atas kaki bukit, rimbun tertutup lebatnya pepohonan. Dari kejauhan tampak rumah-rumah adat yang berbentuk limas dan beratapkan ilalang.
Amazing! Saya selalu ingin berkunjung ke desa-desa eksotis di penjuru nusantara. Desa Takpala ini dihuni oleh sekitar 40 orang. Berada di Desa Takpala seperti melihat sisi lain Indonesia. Dalam kesederhanannya, Suku Abui menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sungguh luas.
Pengunjung juga dapat membeli cenderamata yang dibuat oleh penduduk Desa Takpala sebagai kenang-kenangan.
Di Desa Takpala, kami diceritakan bahwa di kalangan masyarakat Alor, mas kawin yang digunakan untuk menikahi perempuan adalah benda perunggu bernama Moko. Moko adalah sebuah bejana perunggu yang merupakan peninggalan dari masa lampau. Moko ditemukan melalui ‘mimpi’. Setiap keluarga di Alor minimal memiliki satu buah Moko, oleh karena itu Alor juga dijuluki sebagai pulau seribu Moko.
Dari Takpala, kami bertolak menuju pantai untuk menikmati sunset, dan bertemu dengan anak-anak ini.
Pantai Ling’Al
Keesokan harinya, kami berangkat untuk menyusuri pulau-pulau di sekitar Alor. Sebenarnya, kami datang di saat yang kurang tepat, yaitu di musim hujan. Di musim hujan, arus laut cukup kuat dan dingin sehingga ikan-ikan pingsan dan mengambang di permukaan laut. Ya bismillah aja. Hari itu, hanya kami wisatawan yang melakukan island hopping. Kami berangkat melalui Dermaga Alor Kecil.
Sepanjang perjalanan, saya tidak hentinya berdecak kagum karena keindahan Alor. Lautnya begitu biru dengan landscape yang indah. Namun, saya akui kalau landscape Taman Nasional Komodo lebih bagus. Kata guide kami, “Kalau Komodo menang di landscape, Alor menang di underwater view, Kak,”.
Satu jam berkendara dengan kapal nelayan, kami sampai di Pantai Ling’Al. Pantai dengan pasir putih selembut tepung dan gradasi biru laut yang eksotis.
Sesampainya di Ling’Al, Mas Zul mengajak kami untuk menanjak ke atas bukit. Bukit yang kami daki cukup terjal dan berbatu-batu, sampai sendal gunung pink kesayangan saya putus *nangis*. Sendal gunung ini sangat bersejarah karena sudah nemenin saya traveling kemana-mana.
Sampailah kami pada pemandangan indah ini. Lelah karena mendaki hilang sudah! Kami menyempatkan diri untuk berfoto bersama di atas bukit.
Selesai dari Ling Al, kami sempat berhenti di beberapa tempat untuk snorkeling. Namun, arusnya sangat kuat! Saya benar-benar merasakan sendiri namanya terseret arus, berenang melawan arus (dan gak maju-maju) sampai akhirnya panik dan minta pertolongan. Hehe. Agak kapok soalnya nyeremin banget. Kapal kami sempat berhenti di titik lain, dan tahu nggak? Kapal kami berputar terkena pusaran air. Kalau kita berdiri di pinggir pantai, terlihat dengan jelas pusaran air yang cukup besar.
Ketika snorkeling, satu tragedi lagi terjadi.
Karet masker (kacamata snorkeling) saya putus! Tidaaakkk! Ini masker kesayangan warna pink yang nyarinya susah (berburu diskonan hehe) dan baru 2 kali dipake. Sudah, saya sungguh ikhlas, Alor.
Di tengah kesedihan saya (jiah) tiba-tiba saya dikejutkan oleh pemandangan sekumpulan makhluk yang berenang meloncat-loncat di kejauhan. Lumba-lumba! Saya baru kali ini melihat lumba-lumba di alam bebas. Menurut guide kami, lumba-lumba sangat dilindungi di Alor. Warga dilarang untuk mengganggu atau menangkap lumba-lumba.
Kami menepi di pantai terakhir untuk berenang dan minum es kelapa. Sungguh nikmat setelah seharian panas-panasan. Oh ya, saran saya untuk yang mau ke Alor, bersiap-siaplah shock melihat sunburn yang nggilani. Ini sunburn terparah saya setelah Karimun Jawa. Benar-benar belang dan hitam. Oleh karena kulit saya sensitif terhadap panas, jerawat banyak sekali bermunculan. Seperti agak bengkak dan alergi. Inilah harga yang harus saya bayar atas kesenangan di Alor.
Al Quran Tua di Alor
Kue Rambut
Di situs Al Quran Tua, kami disuguhi teh manis dan kue rambut yang merupakan kudapan khas Alor. Kue Rambut terbuat dari tepung beras. Cara pembuatannya cukup unik, yaitu didadar satu persatu kemudian dilipat dan digoreng hingga kering. Rasanya renyah, manis, dan gurih.
Berburu Kain Tenun di Pasar Tradisional
Berkunjung ke suatu daerah rasanya tak lengkap tanpa membawa buah tangan khas dari daerah tersebut. Kami berangkat menuju pasar tradisional Alor di Kota Kalabahi dan membeli buah tangan khas Alor seperti jagung titi, kenari, dan kain tenun.
Sebagai penggemar benda-benda etnik, saya sangat senang melihat aneka corak tenun ikat yang dijual di pasar. Untuk kain tenun besar, harga dipatok mulai dari Rp 200 ribu, sementara untuk selendang kecil seharga Rp 25 ribu.
Sayang, waktu kami di Alor telah habis. Kami harus melanjutkan perjalanan ke Kupang untuk pekerjaan berikutnya. Pokoknya, saya bertekad untuk kembali ke Alor kalau sudah mengantongi diving license. Ada yang mau ikut?
Tips ke Alor
- Menginaplah di homestay agar banyak berinteraksi dengan warga lokal
- Gunakan sunblock yang banyak. Alor sangat panas (tapi lebih panas Kupang)
- Siapkan uang cash karena ATM sangat jarang tersedia di Alor
Mbak minta nomor kontak WAnya Om Kris boleh?
Om Kris (Christian Dami) +62 813 32299336, semoga bermanfaat 😀
Seru sekali mbak. Biar pun postingan beberapa tahun lalu, tapi masih bikin ngiler. Kalau bilang Indonesia Timur ‘indah’ itu kayaknya understatement banget ya.. Pantai Lingal Subhanallah! Menggoda sekali tourquesenya. Semoga suatu saat bisa ke Alor.
Iya, hehe tulisan lama ini tapi insya Allah masih cukup relevan. Pantai Lingal luar biasa bagusnya Mas, semoga nanti bisa berkunjung kembali ke Alor 🙂