Umrah, Sebuah Perjalanan Hati (3): Makkah Al Mukarramah

Madinah sudah, saatnya berangkat ke Makkah!

Perjalanan dari Madinah ke Makkah memakan waktu kurang lebih 6 jam dengan menggunakan bis. Sebelum berangkat, pihak travel membagikan makan malam istimewa untuk kami, yaitu Al-Baik. Al Baik adalah resto fastfood Arab Saudi, ala-ala McD. Enak dan gurih banget. Porsinya yang jumbo membuat saya kenyang duluan melihatnya.

Sekitar jam 12 malam, kami tiba di Makkah Al Mukarramah. Cuaca di Makkah pada bulan Desember tak sedingin di Madinah. Suhunya ketika malam sekitar 30 derajat C, mirip seperti Jakarta.

Labbaik Allahumma labbaik.

Labbaik syariikala ka labbaik.

Berdesir hati saya ketika melihat penampakan Royal Clock Tower, gedung paling megah yang berada di wilayah Masjidil Haram. Kami berganti pakaian ihram dan bersiap menunaikan ibadah Umrah pada pukul 01.00 pagi.

Hotel kami di Makkah berjarak sekitar 300 m dengan jalan yang menanjak. Lumayan bikin ngos-ngosan, saya sih kasihan sama jamaah yang sudah berumur. Meski malam telah larut, jalan menuju Masjidil Haram masih ramai oleh manusia.

Tibalah kami di Masjidil Haram.

Deg.. deg..deg

Benar-benar detak jantung saya tidak menentu pada kala itu.

Ka’bah yang selama ini cuma saya lihat di TV, di majalah, koran, di internet, sekarang berdiri di depan saya dengan megahnya. Dengan gagahnya dikelilingi oleh jembatan Mataf. Ribuan manusia bertawaf mengelilingi Ka’bah dengan arah berlawanan dengan jarum jam. Sesungguhnya, filosofinya adalah seperti ini:

The electrons of an atom revolve around its nucleus in the same manner as making Tawaf, in an anti-clockwise direction.

The earth rotates around its own axis in an anti-clockwise direction.

The earth revolves around the sun  in an anti-clockwise direction.

The planets of the Solar system revolve around the sun  in an anti-clockwise direction.

All the galaxies orbit in the space  in an anti-clockwise direction.

That is: when we revolve around Ka’bah, we are orbiting in the same direction as the whole universe.

Masya Allah.

Kaki saya langsung lunglai dan air mata menetes dengan derasnya. Allahu Akbar. 

Perjuangan di Masjidil Haram

Hari-hari kami di Makkah banyak dihabiskan di Masjidil Haram. Saya sangat mengagumi arsitekturnya. Betul-betul indah dan detail. Masjidil Haram terdiri dari beberapa bagian yang memiliki interior yang berbeda satu dengan lainnya.

Untuk dapat shalat di Masjidil Haram, Anda harus datang minimal 1 jam sebelum azan dikumandangkan. Saya beberapa kali merasakan kepadatan Masjidil Haram yang benar-benar dahsyat. Terinjak, terhimpit, tertendang ketika shalat adalah hal yang biasa. Cukup istighfar di dalam hati.

Entah ulah jamaah mana, tapi suatu kali saya benar-benar marah karena mereka sudah keterlaluan. Saya dan Kodil berjalan berhati-hati melewati jamaah yang sedang shalat, bersama-sama dengan rombongan jamaah lain di depan dan belakang kami. Tiba-tiba seorang laki-laki Arab memaki-maki kami dan mendorong saya sampai terjatuh. Saya bangun, dan membentak orang tersebut, “Why you have to be so rude, brother?? We are here to pray, just the same as you, for God’s sake! Mashaa Allah!!”. Kodil menimpali dengan berteriak “A’udzubillahiminassyaithanirrajim..” orang tersebut akhirnya bersungut-sungut pergi dari hadapan kami.

Pernah, suatu ketika saat hendak shalat jamaah, sekelompok perempuan Turki di samping kami tiba-tiba meminta sajadah kami,“Our mom and us want to use your sajadah, you have to give it to me,” ujar seorang perempuan. “If you want to use sajadah, why don’t you bring your sajadah for your mum?” tanya saya. Akhirnya karena malas berdebat, saya menyerahkan sajadah saya. Lucu-lucu memang kelakuan para jamaah ini.

Tapi, yang bikin paling baper  di Makkah adalah melihat pasangan suami-istri Arab tawaf dan berdoa bersama. Mereka saling bergandengan, yang laki-laki melindungi yang perempuan. Tak jarang mereka mengajak anak-anak mereka yang masih kecil. Subhanallah. Saya dan Kodil terlihat seperti jomblo ngenes di pojokan masjid 😀

Sering juga, kami mendapat tempat di samping keluarga Arab dengan anak perempuan berumur 2-3 tahun. Ia bolak-balik mandir di depan kami memberikan keripik jagung, lucunya. Ia duduk dengan tenang, tak mengganggu jamaah lain ketika shalat sudah dimulai. Pernah juga, ketika badan saya pegal-pegal, tiba-tiba nenek di samping saya dengan ramah memijat punggung dan pundak saya. Alhamdulillah. Nikmat tiada tara. Semoga Allah merahmati kita semua.

Makkah: Surga Belanja

Hal yang menyenangkan setelah shalat Isya adalah keliling mall alias shopping! Hehe. Tidak melulu shopping sih, melainkan cukup cuci mata dan cari cemilan untuk di kamar hotel. Masjidil Haram sendiri dikelilingi oleh kompleks hotel dan perbelanjaan. Berbagai macam model abaya, sajadah, kopyah, gamis, hiasan rumah, hingga parfum dan perhiasan dijajakan disana. Saya hanya membeli oleh-oleh secukupnya (menurut saya barangnya mirip-mirip dengan Tanah Abang). Kami juga sempat mengunjungi Al Bait, shopping mall besar di Zam-Zam Tower. Jualannya ya 11-12 dengan mall di Indonesia, seperti H&M dan kawan-kawannya. Harganya juga mahal. Ketika pulang ke hotel, kaki rasanya mau copot karena terlalu banyak berjalan.

Drama Terakhir: Jamaah Ketinggalan Pesawat

Sama seperti di Madinah, di Makkah kami juga melaksanakan city tour.

Hingga pada waktu itu, tibalah waktu kepulangan kami ke Jakarta. Pesawat yang membawa kami dari Jakarta terbang dari Jeddah. Lama perjalanan Makkah – Jeddah adalah sekitar 2 jam. Disana, kami mampir membeli oleh-oleh di toko Ali Murah, dan selanjutnya ke Masjid Apung Jeddah.

Tak berlama-lama, kami langsung menuju Bandara Jeddah karena waktu yang tersisa hanya sedikit. Sudah mendekati waktu boarding kami, tapi mengapa petugas travel tak kunjung memberikan boarding pass? Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Di detik-detik terakhir, kami diberikan boarding pass, melewati konter imigrasi, dan menuju pesawat Etihad.

Usut punya usut, ternyata terdapat 6 jamaah yang tidak bisa berangkat karena kuota penumpang pesawat telah penuh. Hah, kok bisa? Padahal kami sudah punya tiket. Ternyata, pihak Etihad menjual tiket melebihi kapasitas pesawat. Walhasil, 6 jamaah tersebut harus tidur di Bandara Jeddah dan baru bisa terbang ke Jakarta keesokan harinya, sementara pihak travel pulang ke Jakarta. Menurut saya parah banget sih itu.

Seperti saat berangkat, kami transit di Abu Dhabi tepat pukul 12.00 malam saat pergantian tahun, lalu dilanjutkan dengan penerbangan ke Jakarta selama 10 jam.

Subhanallah, benar-benar nikmat Allah tidak terkira. Umrah memberikan pelajaran yang berharga untuk saya. Bahwa cobaan sesungguhnya saat Umrah bukanlah beratnya, namun bagaimana kita melawan hawa nafsu. Bagaimana kita mengendalikan emosi saat orang lain (mungkin tak sengaja) menyakiti kita.

Semoga Allah segera memanggil kita semua untuk menjadi tamu di rumah-Nya. Amin ya Rabbal Alamin.

N.B: Terima kasih sebanyak-banyaknya buat Kodil sekeluarga yang sudah menjadi teman seperjuangan selama 9 hari di Saudi Arabia, semoga kita semua bisa kembali ke Tanah Suci lagi. Amin..

4 Comments

  1. Wah dramanya >.<

    Ikut aminnn mba untuk doanya yang terakhir 🙂

    Salam kenal yaa, saya istrinya Herdanu ^^

    1. Amiin Mba Shinta, wah istrinya Mas Danu yaa 😀 Salam kenal Mba.

  2. Inshallah mau berangkat juga, ah berguna banget tulisanmu, Mbak!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *